Namun, warga etnis Rohingya di Myanmar tampaknya mendapat pengecualian. Gembar-gembor penegakan HAM dan demokrasi yang sudah mematahkan rezim-rezim otoriter dan militeristik di berbagai belahan dunia selama beberapa dekade terakhir, masih menyisakan derita bagi mereka.
Meski etnis Rohingya secara de facto hidup dan tinggal dari satu generasi ke generasi berikutnya jauh sebelum Myanmar—dulu Burma—merdeka, namun secara de jure mereka tidak dianggap sebagai warga negara (stateless person) yang berhak mendapatkan hak-haknya sebagaimana warga sipil lainnya yang mayoritas beragama Buddha. Sedangkan mayoritas etnis Rohingya menganut Islam. Itukah akar masalahnya?
Tak semudah itu menyimpulkan masalah ketika kita hidup di alam keterbukaan informasi publik seperti sekarang. Kita tidak bisa atau sulit menyimpulkan sebuah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dengan tudingan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Penguasa atau pemerintah yang menjadi tempat berlangsungnya tragedi kemanusiaan itu terjadi, pun pasti akan menyangkal dan menolak jika disebut pembunuhan massal itu bermotif SARA.
Dan pernyataan itu pun sudah dilakukan oleh pemerintah Myanmar, melalui Menteri Luar Negeri, Wunna Wunna Maung Lwin, yang menolak tudingan terjadinya pembantaian di wilayah Provinsi Arakan, tempat dimana 1,7 juta jiwa etnis Rohingya bertahan hidup. Hal itu dikatakannya saat utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa Tomas Quintana berkunjung ke Myanmar (30/7/2012).
Menjadi tanda tanya saat Myanmar menikmati demokrasi beberapa tahun belakangan, tapi pelanggaran HAM berat masih terdengar dari sana. Terlebih lagi, seorang Aung San Suu Kyi yang menjadi simbol pejuang HAM dan demokrasi di Myanmar, lantas diakui prestasinya itu oleh dunia internasional melalui penghargaan Nobel Perdamaian. Partai politik yang dipimpin Suu Kyi juga menjadi oposisi terkuat di sana. Namun, faktanya Suu Kyi tampak kikuk dan bak macan ompong manakala menyaksikan puluhan ribu etnis Rohingnya terancam jiwanya. Beberapa diantara mereka dibunuh dan disiksa secara massal oleh junta militer, sementara yang selamat harus terlunta-lunta mencari tempat suaka ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri keberadaan para pengungsi Rohingya sebenarnya sudah tercium jejaknya sekira dua tahun silam. Sebagian mereka kabur dari Myanmar lewat jalur laut dan terdampar di Indonesia. Lantas mereka ada yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi yang dikelola Ditjen Imigrasi, sedangkan yang lainnya di luar Rudenim statusnya sebagai pengungsi yang ditangani UNHCR. Data resmi yang tercatat di Ditjen Imigrasi totalnya sekitar 500 pengungsi. Mereka tersebar di berbagai daerah yang kebanyakan di antara mereka berada di luar Jawa.
Pemerintah Indonesia sendiri terkesan lamban merespons konflik tersebut yang memuncak sejak Juni 2012. Rumah-rumah tinggal etnis Rohingya dibumihanguskan, sementara mereka yang tertangkap ada yang dibunuh dan disiksa atau dipaksa menukar keyakinannya. Tak salah jika ormas-ormas Islam mendesak pemerintah mengajukan protes resmi ke junta militer Myanmar yang berkuasa serta ke PBB. Ketua Umum PB Alkhairaat Palu, Habib Ali bin Muhammad Aljufri, sebagaimana dikutip inilah.com (1/8/2012), misalnya secara tegas mendesak pemerintah RI mengembalikan Dubes Myanmar ke negaranya sebagai bentuk protes atas kekejian kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya.
Alam demokrasi di Myanmar kiranya baru dinikmati dan berpihak pada Suu Kyi dan warga negara selain etnis Rohingnya. Tapi, jika Suu Kyi tak yang berpeluang besar memimpin Myanmar kelak tak menunjukkan empatinya yang dalam atas tragedi kemanusiaan itu, sejarah akan mencatat kecacatannya: seorang tokoh pejuang HAM yang ambigu. Wallahu a’lam.[misroji/islampos]