.:: dalam setiap era selalu lahir generasi muda dg ide/pemikiran, karakter dan juga sikap tersendiri. Bisa jadi mereka hadir dan berkembang dlm bayang2 keberadaan generasi pendahulunya ::.
Menyikapi Islamophobia di AS
Kamis, 02 Juni 2011
Oleh: Syamsi Ali
SEBAGAI seorang Muslim yang sekarang ini tinggal di Amerika Serikat, tentu sangat terasa betapa ketakutan secara tidak rasional terhadap Islam, yang kerap dikenal dengan ‘Islamophobia’ berada pada tingkatan yang sangat tinggi. Secara pribadi, saya belum mengalami sikap anti Islam yang berlebihan, terkecuali bahwa beberapa kali ketika akan melakukan ‘check-in’ di airport harus melalui tahap ‘klarifikasi latar belakang’ (back ground checking). Jawaban yang selama ini selalu saya dapatkan adalah karena ribuan ‘last name Ali’ yang perlu diteliti.
Tiga tahun lalu, ketika mereka akan terbang mengikuti konferensi tahunan Imams (Imams Federation Annual Convention), enam orang Imams tertahan untuk terbang hanya karena melakukan shalat di airport, atau di atas pesawat. Kasus 6 Imam ini kemudian dikenal dengan ‘flying Imams’ berhasil dimenangkan dengan tuntutan perdata yang cukup tinggi.
Minggu lalu, untuk mengikuti acara tahunan yang sama, ada dua orang Imam dari Memphis yang tertahan dan bahkan tidak diperkenankan untuk terbang pesawat Delta. Alasannya hanya karena sebagian penumpang nggak sreg (uneasy) dengan keberadaan dua Imam tersebut dalam pesawat menuju Charlotte (North Caroline). Walau pada akhirnya kemudian diterbangkan dengan pesawat selanjutnya, namun Delta masih bertahan untuk tidak meminta maaf. Bahkan alasannya hanya ‘untuk meyakinkan keamanan’. Seolah kehadiran dua penumpang itu memang menjadi ancaman bagi keamanan.
Teman saya, Imam Amin Abdul Latif, ketua Majlis Syura NYC, pada hari yang sama ketika akan terbang dari LGA (La Guardia) New York menuju Charlotte, juga ditolak terbang oleh pesawat American. Tragisnya, hingga kini belum didapatkan alasan yang jelas.
Di berbagai belahan AS, ada kejadian-kejadian buruk terhadap komunitas Muslim. Di sebuah kota kecil ada masjid yang di pintunya digantungkan daging babi (bacon). Ada pula yang dicoret-coret dengan kata-kata yang menghina atau bahkan ancaman.
Tidak terlupakan penentangan-penentangan terhadap proyek rumah ibadah (masjid/Islamic Center) di berbagai belahan negeri ini. Dari proyek masjid di Memphis, Brooklyn, Staten Island, hingga yang paling heboh, proyek Islamic Center dekat Ground Zero yang juga dikenal dengan Park5 Community Center.
Semua kasus tersebut di atas kemudian secara sigap ditangkap oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, termasuk para politisi yang memiliki kalkulasi sempit. Saya katakan memiliki kalkulasi sempit karena dianggapnya dengan memainkan sentimen dan emosi rakyat mereka akan meraih kemenangan.
Rick Lazio calon gubernur New York ketika itu misalnya, yang ketika berkampanye memainkan sentimen masyarakat New York dengan issue Park51, justeru pada saat babak penyisihan untuk maju sebagai calon Republikan, hanya meraih 20% lebih suara pemilih.
Beberapa pihak tentunya menggunakan isu Islam sebagai ‘sumber kehidupan’ (material interest) dan/atau memang karena murni kebenciannya kepada agama ini. Jika Anda googling kata Islam, atau konsep-konsep yang rentang disalah pahami, termasuk ‘syariah’ dan ‘jihad’, akan Anda dapati mereka ini dengan berbagai proyek yang sebenarnya bertujuan untuk meraih kepentingan duniawi. Mungkin yang paling terkenal di antara mereka adalah Daniel Pipe, yang di kalangan sebagian Yahudi pun dikenal sebagai ‘extremist’.
Akar Penyebab
Umumnya, ketika ada kejadian yang kurang mengenakkan bagi komunitas Muslim, yang terjadi adalah reaksi ‘marah’ lalu disusul dengan berbagai sikap negatif, minimal kutukan. Tidak jarang reaksi itu menimbulkan korban yang tidak sedikit. Sedihnya, justeru mayoritasnya korban itu adalah pihak Muslim sendiri.
Ada baiknya barangkali jika kita mencoba melihat secara dekat kemungkinan faktor atau penyebab terjadinya ‘rasa takut yang tidak masuk akal’ (ini adalah salah satu defenisi Islamophobia dari berbagai defenisi yang ada) sebagain non Muslim kepada Islam. Dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa dengan mudah mencari obat yang sesuai dengannya.
Saya membagi berbagai akar penyebab ini kepada dua sisi. Pertama, sisi non Muslim. Dan yang kedua, sisi Muslim itu sendiri.
Dari sisi non Muslim ada faktor media. Saya menempatkan media di urutan pertama karena ternyata seringkali --umumnya memainkan kenyataan masyarakat yang memang masih bodoh-- dengan agama Islam. Kekuatan media tenyata sangat dahsyat dan terkadang menjadi penentu bagaimana sebuah permasalahan kemudian terbentuk. Hitam atau putihnya, salah atau benarnya sebuah isu terkadang banyak ditentukan oleh bagaimana kemudian media mempropagandakan.
Hari Senin, 9 Mei lalu, saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Donald Trump, pebisnis real state yang kaya raya. Pertemuan ini terjadi atas permintaan saya melalui teman dekat, Russel Simmons, raja hip hop yang terkenal. Dasarnya adalah untuk mendapatkan klarifikasi dari sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Donald Trump dalam sebuah wawancara di Fox News bersama O’Rally bahwa Islam dan Muslim itu adalah masalah.
Pertemuan terjadi salam suasana yang sangat akrab, yang mengharuskan saya mengakui bahwa Donald Trump yang selama ini kita kenal dari media berbeda dari Donald Trump yang kami temui saat itu. Bahkan secara kelakar saya sampaikan hal ini kepada beliau: “You are certainly a different Donald Trump from the one I knew from the media.”. Dia tersenyum dan menjawab singkat; “And you áre a different Muslim from what I knew from the media.”
Dalam pertemuan yang memakan waktu sekitar sejam itu Donald Trump mengakui bahwa media itu ternyata banyak menyajikan ‘misinformasi’ mengenai Islam. Dia bahkan dengan terbuka mengakui akan kebutaannya terhadap agama ini.
Karenanya sangat berterima kasih atas kunjungan dan keinginan untuk mengklarifikasi banyak hal tentang Islam, khususnya mengenai konsep syari’ah dalam Islam.
Kalau saja seorang nama besar seperti Donald Trump bisa menjadi korban media, apalagi jutaan rakyat-rakyat di pinggiran kota Amerika Serikat? Apalagi mereka yang memang belum mendapatkan akses atau interaksi langsung dengan masyarakat Muslim? Sangat dimaklumi tentunya. */bersambung
Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York
http//hidayatullah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar